Tentang Menjadi Seorang Ibu

3:08:00 PM

Waktu saya kecil, saya paling senang kalau main dokter-dokteran, apalagi kalau ceritanya mau lahiran. Ga tau kenapa kok ya suka adegan begitu. No wonder ketika di tanya cita-cita maunya jadi dokter (ini sebelum ketemu dengan Bu Lilis yang kemudian membikin saya kepingin jadi guru saja). Dulu, saya mikir lahiran itu perihal jerit-jerit, ngeden, terus anaknya keluar dari anus kaya gimana kita pup. (Iya, setelah SD baru deh saya tau dan shock lahiran itu bukan dari anus).

Setelah lewat masa main-mainan, hampir ngga pernah lagi saya mikirin tentang lahiran selain kalau dibahas di pelajaran biologi atau kalau gak sengaja ngobrol sama teman tenaga kesehatan atau yang baru lahiran. 

Sampai kemudian saya hamil.
Sedari awal saya men-sugestikan diri untuk kuat, sehat dan bisa melahirkan secara normal. Segala deh saya lakuin demi bisa lahiran normal. Jaga berat badan, senam hamil, sering jalan, naik turun tangga, yoga..wah semua yang mampu saya usahakan deh. Saya pelajari teknik mengedan, posisi melahirkan, bagaimana nafasnya, apa-apa saja yang perlu diperhatikan sudah khatamlah.

Sebenernya saya ini penakut, sangat-sangat penakut sampai ketika harus bedah mulut saya minta bius total saja biar ga tau prosesnya. Zero pain tolerance deh pokoknya. Tapi untuk lahiran ini saya lebih prefer ke lahiran normal. Kenapa? Karena kalau lahiran normal saya jadi pihak yang aktif, bukan yang pasif diam nunggu perut diubek-ubek. Alasan lainnya MURAH, hahahaha iya, biaya lahiran normal hampir setengahnya dari sesar. Meski saya tetap nabung untuk kemungkinan sesar, saya sudah menyiapkan reward kalau sisa tabungan boleh dipakai beli apa saja yang saya mau, kalau saya lahiran normal. Alasan ketiga, proses penyembuhan yang lebih cepat. Alasan keempat, saya kesel dibilang manja sama ibu-ibu dikantor yang diawal kehamilan koar-koar saya pasti operasi karena ga akan kuat. (Oke, ini gak penting)

Tapi ternyata, saya harus operasi sesar.

Saya cuti H-3 minggu dari HPL. Minggu pertama habis dipakai cuci-cuci perlengkapan bayi dan beres-beres. Sengaja saya selesaikan secepat mungkin supaya dedek bayi bisa lahir kapan saja and he has everything he needs to wear. Waktu itu Bedding Crib nya belum sampai, jadi memang crib nya masih polos. Ketika akhirnya minggu itu berlalu saya bilang sama suami "Mungkin debay gak mau keluar karena tempat bobonya belum selesai ya" . Kontrol ke dokter dibilang tinggal tunggu mules aja.

Minggu kedua beddingnya sampai dan selesai dipasang. Semua siap untuk dedek bayi. Tapi belum ada mules atau flek atau tanda siap lahiran apapun. Minggu ini akhirnya saya pakai untuk rapi-rapi isi hardisk dan ngeblog beberapa kali. Ibu memutuskan untuk merenovasi kamar mandi dan carport. Karena kamar saya pas didepan carport ya berdebulah. Segala perlengkapan bayi pun dicopot. "Dek, kapanpun kamu mau keluar, keluar aja ya. Nanti kasurnya dipasang lagi kok". Kita kontrol lagi dan kata pertama yang dokter bilang pas ketemu saya adalah "kamu belum mules juga?" Drop deh rasanya. Akhirnya dikasihlah obat pelunak rahim setelah cara traditional merangsang mules which is you know...making love dont give result we needed.

Minggu ketiga saya sudah bosan. Betul-betul bosan sampai akhirnya sering keluar untuk ketemu teman-teman. Saya aslinya kepingin minggu ini dipakai untuk foto hamil (lagi). Pengen dokumentasiin perut dan foto yang lebih intimate untuk kenang-kenangan. Tapi karena suami kerja ya akhirnya ngebatin kalau sampai sabtu ini gak mules juga mau ngamar aja deh sambil foto-foto pake tripod. Banyak tanya-tanya juga sama teman yang ngalamin 39 minggu dan belum mules, banyaknya disuruh nunggu aja, dirangsang mulesnya, sambil diajak ngobrol bayinya.

Seperti biasa, Hari Sabtu kita pun kontrol lagi ke dokter. Ketemu perawatnya "masih belum teh?"  senyum-senyum-sedih deh. Ketemu dokterpun mirip-miriplah begitu first wordnya tapi masih sambil senyum. Pas di USG barulah dia mendadak serius.

"Raisha ini berat bayi kamu kenapa jadi 3.8 kg? Minggu lalu masih 3.2 kg padahal."
Glek. Padahal saya sudah jaga makanan banget.
"Aduh sini kamu liat, ini udah sempit banget didalam perut kamu. Ini liat kakinya udah ketekuk banget saya khawatir bengkok kalau dilamain lagi."
DUAAAARRR !

Langsung pucet. Untung sama suami jadi undercontrol. Kitapun akhirnya put aside emotion dan mulai ngobrolin yang harus dilakuin apa, yang paling baik gimana. Waktu itu usia kandungan 39 minggu 4 hari dan saya gak ada mules ataupun pembukaan. Dokter memberi dua pilihan, induksi atau sesar.

Induksi, lebih mules dari yang normal dan ada kemungkinan vakum kalau saya tidak kuat mengedan, mengingat ukuran bayi yang besar dan ada lilitan. Saya big no no kalau harus vakum. Resiko besar untuk bayi. Dokterpun mengatakan lebih aman untuk bayi kalau sesar. Meski memang lebih tidak aman untuk ibunya, resiko sesar berulang untuk kehamilan selanjutnya juga besar.

Saat itu juga saya tau saya akan sesar. Its baby over mommy.
Dokter memberikan waktu untuk berpikir dan berdiskusi dengan keluarga sambil tetap menyiapkan segala surat pengantar. "Sa, kamu ingat ya. Jangan egois, ini bukan tentang kamu saja..tentang bayinya juga" ketika dokter yang sangat pro-normal berkata begitu, kamu bisa apa?

Di parkiran saya menangis, entah untuk apa. Sampai Mas Ardy berkali-kali bertanya apa yang saya takutkan. Toh sejak awal kita berdua selalu menjungjung tinggi apa yang paling baik, ngga ngoyo mau normal atau sesar dan mempersiapkan diri untuk lahiran normal maupun sesar.

Mungkin saya cuma kaget.
Toh kalau mau banding-bandingan dua-duanya sama menakutkan. Tiba-tiba saya teringat kutipan yang entah saya baca dimana..

Tugas kita sebagai ibu adalah mengantarkan bayi kita ke dunia. Urusan kapan dan bagaimana caranya itu terserah Tuhan dan bayinya.

Setelah agak tenang kita pun ke RS Hermina (tentang pilihan rumah sakit di sukabumi kelak akan saya posting disini) dan bertanya-tanya (ulang) kepada PMO tentang prosedur melahirkan sesar disana. Melihat saya yang sedikit-sedikit menangis, petugas PMO kemudian membesarkan hati saya dengan menceritakan pengalamannya saat sesar dulu.

Karena saya ikut Depomil (Apa itu Depomil? Nanti diceritakan terpisah ya) dan mengambil kelas SVIP untuk kelahiran saya, Petugas PMO segera mengecek ketersediaan kamar mengingat hanya ada sekitar 4 kamar SVIP di RS Hermina Sukabumi. Dan ternyata saat itu penuh, tapi ada satu pasien yang direncanakan akan pulang sore itu. Dan belum ada rencana pulang untuk 3 pasien lainnya. Dengan kata lain saya harus masuk RS sore ini dan operasi keesokan harinya kalau saya tetap mau pakai kelas yang dipesan saat Depomil. Kalau mau operasi hari lain ya kemungkinan turun kelas, sambil menyesuaikan dengan jadwal operasi Dokter kandungan yang ditunjuk. Saya lalu meminta waktu sampai sore untuk memutuskan karena saya belom bicara apa-apa dengan orang tua dan mertua.


selfie terakhir debay diperut
Sebelum pulang kerumah saya minta suami untuk makan siang diluar sambil saya menenangkan diri. Saya mau eskrim, toh saya akan operasi tidak perlu lagi jaga makanan. Es krim selalu ampuh membuat saya happy, you know. Saya bilang suami, ini mungkin kali terakhir kita makan tenang di restoran, sebelum nanti sibuk dengan bayi. Setelah bengkak mata saya berkurang dan perut kenyang kamipun pulang.

Sesuai dugaan, orang tua saya maupun suami manut dengan saran dokter. Dan setelah dipertimbangkan lebih baik besok saja operasinya karena besok Hari Minggu, dimana seluruh keluarga-termasuk adik saya yang kuliah diluar kota sedang ada dirumah. Lebih cepat lebih baik, karena lebih singkat juga kesempatan saya untuk worry about it too much. Maka akhirnya sore itu, diangkat juga koper persiapan lahiran yang sudah dipak 2 sejak minggu yang lalu ke mobil.

Begitu selesai registrasi saya masuk ruang VKOK untuk pemeriksaan pra-operasi. Suster melakukan CTG untuk memantau jantung dan pergerakan bayi. Pertama CTG debay hanya bergerak beberapa kali, terlalu sedikit menurut suster. Lalu ditanyalah terakhir makan kapan, baru saya sadar saya belum makan. Lalu ibu membelikan jagung manis keju, tapi debay masih juga sedikit pergerakannya. "mungkin sedang tidur bu" Setalah suster pergi, eh debay gerak-gerak terus. Ck..ck..ga suka suara mesinnya ya dek?

Setelah itu suster meminta izin untuk cek pembukaan. Lho, saya pikir untuk apa cek pembukaan toh saya mau operasi dan tidak ada mulas atau kontrasi apapun. Saya bilang coba tanyakan ke Dr. Eddy itu diperlukan atau tidak, kalau tidak saya tidak mau. Ibu saya sependapat karena well..itu sakit. Setelah itu suster kembali dan hanya menginfus saya dan memberi suntikan pematangan paru-paru. Okay, berarti Dr. Eddy sependapat dengan saya.

Setelah itu saya masuk ruang rawat inap, makan malam, dan tidak lama suster masuk untuk memberikan pencahar yang ya ampun luar biasa sekali ! Andai pencaharnya bisa dibeli dan dipakai kapan saja ! *Raisha anaknya mudah sembelit* lalu puasalah saya untuk operasi yang dijadwalkan besok jam 6 pagi.

Sepanjang malam saya tidak bisa tidur, padahal saya sudah minta dipeluk suami di bed pasien. Pikiran saya tidak bisa damai, terlalu banyak yang berkecamuk. Ketika jam 5 pagi suster membawa saya ke ruang observasi saya sampai tanya "suster kalau semalamnya tidak tidur gak apa-apa operasi?" Iya, setakut itulah saya waktu itu.


Diruang observasi saya masih ditemani suami dan orang tua, disebelah saya ada 2 atau 3 bed yang berisikan pasien-pasien yang akan dioperasi juga. Jam setengah 6 suster masuk mengabari kalau operasi saya diundur karena ada pasien darurat yang harus dioperasi. Dokter kandungan saya, dr. Eddy, pun datang dan mengabari hal serupa "Raisha saya operasi pasien lain dulu ya, kurang bulan dia, darah tinggi juga. Kalau saya tidak operasi dia sekarang bisa meninggal" Glek, sekarang setelah hamil saya jauuuuuh lebih pengertian terhadap ibu hamil. Menunggu sejam tidak masalah sama sekali.

Tidak lama terdengar suara tangis bayi dari dalam kamar operasi, beberapa menit setelahnya perawat masuk ruang observasi membawa bayi. Menimbang, mengukur, membersihkan. Keluarga mengerubungi bayi tersebut dengan suka cita. Oke, setelah ini saya.

Breath in..Breath out..

Kira-kira pukul 06.30 perawat masuk mengabarkan saya akan dibawa masuk ruang operasi. Saya takut luar biasa, tapi saya ingat saya harus tenang, supaya dedek bayi tenang..supaya saya bisa segera dioperasi mengingat saat bedah mulut dulu ketegangan saya berdampak saya lebih lama di ruang operasi. Suami mencium kening saya, saya minta doa pada ibu saya. Sesungguhnya saya ingin meminta maaf kalau-kalau saya...didn't make it. Tapi kata-kata menggantung begitu saja, saya cuma bisa menangis. Haru sekali rasanya saat itu.

Masuk ke ruang operasi saya langsung minta selimut karena dingin sekali, yang jelas..tidak dikabulkan. Suster mulai menyiapkan alat-alat, menghitung kasa..sibuk dengan urusannya. Saat itu hanya dokter anastesi yang mengajak saya mengobrol. Lumayan, saya agak tenang. Kemudian saya diminta membungkuk, karena dokter anak menyuntikan bius. Tidak sakit sih seingat saya, padahal yang saya baca katanya lumayan sakit. "Aduh teh, ini lemaknya banyak sekali" Iya dok, iya...pinggul saya memang berisi iya -______-

Setelah bagian bawah tubuh saya mulai tidak terasa persiapan operasi dimulai. Saya yang sangat takut dengan darah ini sudah berniat tidak akan melihat prosesnya. Tapi sialnya, ceilingnya kaca. saya hampir bisa melihat seluruh badan saya disitu. Dokter Eddy datang, mengajak kami berdoa bersama dan menyemangatiku. Saya bisa lihat mereka membalur perut saya dengan betadine. dan dokter kandungan mengambil pisau. Waaah, saya tidak mau lihat. Akhirnya saya memalingkan muka ke kanan, ke arah jam dinding saja.  Saat itu, jam 7 pagi.

Sekitar 5 menit kemudian dokter anastesi membisiki saya kalau bayi akan segera dikeluarkan dan agak sedikit berguncang. I thought it will be a lil shake, but its like you try to take a plugged thing ! Lalu tiba-tiba perut saya terasa kosong, Dr. Eddy meminta saya melihat karena hey, Anak saya ada ditangannya !




Dan dia menangis, kencang. Kulitnya berubah dari ungu menjadi merah setelah dia menangis. Saya tidak tahu peristiwa apa yang bisa menandingi ini. Saya menangis, tak kuasa lagi menahan haru. Andai tangan saya tidak diikat ke kasur operasi, ingin saya peluk anak saya langsung. Anak saya..anak saya..yang selama ini didalam perut saya, yang selalu bersembunyi tiap kali akan USG 4D, nak...Mama bisa lihat kamu sekarang.

Suster menawarkan apakah saya mau IMD atau tidak, yang langsung saya jawab iya. Anak saya diposisikan di dada saya. Hangat, hangat sekali. Mama sukuri segala darimu nak, Alhamdulillah. Nafasmu, tangismu, gerakmu, alhamdulillah nak..alhamdulillah.

Saya menjadi Ibu.
Seketika poros dunia saya berubah, semuanya menjadi tentang kamu.
Anak saya.

Dokter kemudian mengatakan ada yang salah dengan rahim saya yang sangat mudah berdarah, dan menanyakan apakah saya sering kesakitan saat datang bulan. Saya jawab tidak, karena memang tidak. "ternyata kamu banyak masalahnya Sha !"  Dokter menemukan miom kecil yang langsung dibersihkan, dan apa ya saya lupa namanya. benjolan hitam yang membuat saya batal pasang IUD. Alhadulillah tidak ngotot melahirkan normal, karena ternyata dengan keadaan rahim saya yang seperti itu akan rawan sekali pendarahan.

Dr. Eddy menyuruh saya sekali lagi melihat perut saya, yang ternyata rahim saya diangkat keluar. Menunjukan bagian-bagian yang bermasalah. Sempat pula difoto oleh perawat. Eh, sekalian saja saya minta difotokan dengan anak saya untuk kenang-kenangan. Tapi setelah melihat rahim saya yang berdarah darah..saya langsung mual. Mual parah sampai saya minta anak saya dingkat karen khawatir saya muntah dan terkena dia.

"dokter saya mual..dokter saya mau muntah.." 
Suster kemudian menyuntikan sesuatu ke tangan saya, mualnya hilang namun kepala saya pusing luar biasa. "dokter tolong pusing sekali tolong" yang langsung ditanggapi dengan suntikan lainnya. Badan saya dingin, saya menggigil hebat. Saya betul-betul takut meninggal saat itu, saya berusaha mengingat-ingat anak saya sambil berusaha untuk tetap kuat. Saya tidak mampu berkata apa-apa hanya menggigil, dingin. Dalam hati saya mengucap syahadat dan berdoa diselamatkan Tuhan.

Dan taukah kalian? Pada saat saya sedang berjuang hidup, dokter kandungan dan dokter anastesi mengajak saya mengobrol. Mungkin menajaga saya supaya tetap sadar,

Dr, Anastesi : "kerja dimana teh?" 
Dr. Kandungan : "Orang pajak ini dia, suaminya jg orang pajak"
Dr. Anastesi : "Wah Ya Ampun ! Itu kok pajak dokter tinggi banget sih? katanya mau naik lagi ya ? Bisa dikurangin ga sih?"
Dr. Kandungan : " Iya, kalau dipajakin terus saya mah mau bisnis aja ah."

Saya cuma diem. Ya iyalah ! Perut saya lagi dibuka, diubek-ubek, saya lagi menggigil dan takut meninggal. Menjelaskan kenapa dokter dipajakin bener-bener a very least thing i'd do. Jadi petugas pajak kok begini amat. pas lagi operasipun harus denger misuh-misuh orang Huhuhu

Diam-diam saya berdoa juga semoga diemnya saya gak bikin mereka bete dan menyabotase operasi ini. hahahaha Gak mungkin lah ya !

Cukup lama sebelum akhirnya saya berhenti menggigil. Dokter meminta saya melihat perut saya karena ternyata sudah tertutup rapi. Operasi selesai, saya selamat. Alhamdulillah.

Masuk ke ruang observasi disambut oleh suami dan ibu saya. Mendengar mereka menceritakan anak saya yang gemuk, putih, rambut yang lebat, mancung, yang tangisnya kencang, seketika saya rindu. Anak saya setelah selesai pengukuran dan di-adzani papa nya dibawa suster ke ruang observasi bayi. Enam jam lagi saya baru bisa bertemu anak saya.


menunggui sambil membaca buku AyahAsi

Saat saya mengecek handphone, adik-adik saya sudah mempost dimana-mana foto anak saya. Anak saya ganteng sekali Ya Allah, mirip sekali dengan papanya. Enam jam saya diruang observasi hanya sebentar orang tua saya menengok "lebih rame diatas liat debay" Iya, sudah punya cucu, anaknya dilupakan. hahaha



Keenan..
Berat Badan 3.5 kg tinggi 49 cm

Anak kami...:')



*i rearrange the timeline, this post originally posted on July, 28th 2016*

You Might Also Like

4 comments

  1. halo mama keenan,

    berasa ada temen barengannya nih. Same case, kontraksi ga datang-datang sampai melewati HPL padahal sudah berusaha sekuat mungkin yaa hiks... ternyata para baby minta di-'jemput' hihi

    semangat dan sehat terus mom! smoga kita bisa mendapatkan kesempatan merasakan VBAC untuk yang selanjutnya ya. Aaamiiin :)))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku barusan baca postingan kaka, iya yah sama banget !
      Aku padahal dari 34 minggu udah masuk panggul lho, tp tetep ga ada mules apa-apa. Beneran pengen dijemput hehehe

      AMIIIIIINNN
      Harus jaga jangan sampe kebobolan dibawah 2 taun kl gitu hehe

      Delete
  2. chaaa ku nangis baca inii ��
    salut sama perjuangan kamu lahiran. Semenjak hamil aku juga belajar banyak biar gak egois sama diri sendiri, apa-apa baby first. Semoga aku bisa sekuat km pas ngadepin lahiran nanti :')
    Thanks for sharing the story ��

    ReplyDelete
    Replies
    1. teh fha pasti lebih kuat. Kan sabuk merah ! hihihihi
      semangat yah teh, insyaAllah lancar :))

      Delete

Powered by Blogger.